Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, menegaskan komitmen pemerintah untuk tidak melakukan intervensi terhadap kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Penegasan ini disampaikan menyusul rencana penyerahan sekitar 6.000 poin permasalahan krusial terkait RUU tersebut kepada Komisi III DPR RI untuk dikaji lebih lanjut.
Pernyataan Wamenkumham tersebut menggarisbawahi pentingnya independensi legislatif dalam proses pembentukan undang-undang, terutama untuk regulasi sepenting KUHAP yang menjadi payung hukum bagi seluruh proses peradilan pidana di Indonesia. Penyerahan ribuan poin permasalahan ini diharapkan menjadi fondasi pembahasan yang komprehensif dan mendalam, demi menghasilkan KUHAP yang responsif terhadap dinamika hukum dan kebutuhan masyarakat.
Tantangan dan Kompleksitas RUU KUHAP
Sebanyak 6.000 poin permasalahan yang akan diserahkan kepada Komisi III DPR bukan sekadar angka, melainkan representasi dari berbagai isu substansi dan teknis yang kompleks. Poin-poin ini diduga mencakup masalah-masalah krusial seperti kewenangan aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan), hak-hak tersangka dan terdakwa, proses penyidikan, penuntutan, persidangan, hingga upaya hukum. Beberapa isu sensitif yang kerap muncul dalam pembahasan KUHAP sebelumnya juga diperkirakan ada di antara poin-poin tersebut, meliputi definisi tindak pidana, alat bukti, hingga mekanisme pengawasan terhadap kinerja penegak hukum.
RUU KUHAP sendiri telah menjadi agenda prioritas legislasi nasional selama bertahun-tahun, mengingat pentingnya pembaharuan terhadap KUHAP yang berlaku saat ini (UU Nomor 8 Tahun 1981). Pembaharuan ini dianggap mendesak untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan hukum internasional, teknologi, serta tuntutan keadilan masyarakat yang semakin tinggi. Kompleksitas inilah yang memerlukan pembahasan yang cermat dan melibatkan berbagai pihak, mulai dari akademisi, praktisi hukum, organisasi masyarakat sipil, hingga perwakilan pemerintah.
Komitmen pada Independensi Legislatif dan Transparansi
Wamenkumham menekankan bahwa posisi pemerintah dalam pembahasan RUU KUHAP adalah sebagai mitra yang suportif, bukan intervensif. Artinya, pemerintah akan menyediakan data, kajian, dan masukan yang dibutuhkan oleh DPR, namun keputusan final mengenai substansi RUU tetap berada di tangan legislator. Komitmen ini bertujuan untuk memastikan bahwa produk undang-undang yang dihasilkan adalah cerminan kehendak rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR, bukan dominasi dari eksekutif.
“Kami berkomitmen penuh untuk menghormati kewenangan DPR dalam menyusun dan membahas RUU KUHAP. Enam ribu poin permasalahan ini adalah bukti bahwa kami sangat serius dalam menyiapkan draf terbaik, namun keputusan akhir dan penyempurnaan ada di tangan Komisi III. Tidak akan ada intervensi dari pihak manapun yang berupaya mendikte proses legislasi ini,” ujar Edward Omar Sharif Hiariej di Jakarta pada 24 June 2025.
Lebih lanjut, transparansi proses pembahasan juga menjadi kunci. Pemerintah dan DPR diharapkan dapat melibatkan publik secara aktif, baik melalui forum dengar pendapat, konsultasi publik, maupun akses informasi yang mudah dijangkau. Hal ini krusial untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap proses legislasi dan legitimasi terhadap KUHAP yang baru.
Dengan diserahkannya 6.000 poin permasalahan tersebut, Komisi III DPR kini memiliki pekerjaan rumah besar. Diharapkan, pembahasan RUU KUHAP dapat berjalan efektif dan efisien, dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dan partisipasi publik yang luas. Tujuannya adalah untuk menghasilkan KUHAP yang modern, adil, humanis, dan mampu menjawab tantangan penegakan hukum di Indonesia di masa depan.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda