Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menghadapi gelombang kritik terkait program masif distribusi perangkat Interactive Flat Panel (IFP) ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Meskipun bertujuan untuk memodernisasi proses belajar-mengajar, inisiatif ini menuai sorotan tajam dari berbagai pihak, termasuk pemerhati pendidikan, mengenai efektivitas dan prioritas alokasi anggarannya.
Program distribusi IFP, yang merupakan bagian dari agenda digitalisasi pendidikan nasional, dirancang untuk memperkenalkan teknologi canggih di ruang kelas. Perangkat IFP berfungsi layaknya papan tulis interaktif berukuran besar dengan kemampuan sentuh, konektivitas internet, dan akses ke berbagai aplikasi pembelajaran. Pemerintah berharap, dengan perangkat ini, proses pembelajaran akan menjadi lebih dinamis, interaktif, dan relevan dengan tuntutan era digital.
Namun, di tengah semangat inovasi tersebut, muncul pertanyaan besar tentang kesiapan infrastruktur dan kapabilitas sumber daya manusia di lapangan. Banyak pihak berpendapat bahwa fokus pemerintah seharusnya tertuju pada pemenuhan kebutuhan dasar yang masih krusial di banyak sekolah.
Kontroversi di Balik Proyek Digitalisasi Pendidikan
Salah satu suara kritis yang paling vokal datang dari Ina Setiawati Liem atau Ina Liem, seorang founder Jurusanku sekaligus konsultan pendidikan terkemuka. Melalui pernyataannya, Ina Liem mempertanyakan urgensi pembagian perangkat berteknologi tinggi ini ketika masih banyak sekolah yang berjuang dengan masalah fundamental.
“Program pembagian IFP ini, meskipun niatnya baik untuk memajukan pendidikan, perlu ditinjau ulang dari segi prioritas dan kesiapan ekosistem pendidikan kita. Banyak sekolah yang masih memerlukan infrastruktur dasar seperti listrik stabil, akses internet yang memadai, atau bahkan ketersediaan buku-buku pelajaran yang layak, sebelum melangkah ke teknologi canggih yang belum tentu bisa dioptimalkan secara maksimal,” ujar Ina Liem.
Kritik tersebut juga menyoroti aspek lain, seperti pelatihan guru yang belum merata dan memadai untuk pengoperasian IFP, serta tantangan pemeliharaan perangkat di daerah terpencil. Tanpa dukungan listrik yang stabil dan koneksi internet yang handal, fungsi utama IFP sebagai alat pembelajaran digital modern menjadi terbatas atau bahkan tidak dapat digunakan sama sekali.
Prioritas Anggaran dan Efektivitas Pembelajaran
Isu prioritas anggaran menjadi krusial dalam diskusi ini. Di satu sisi, pemerintah berargumen bahwa investasi teknologi adalah langkah strategis jangka panjang untuk mempersiapkan generasi penerus. Di sisi lain, para kritikus berpandangan bahwa dana yang dialokasikan untuk pengadaan IFP bisa jadi lebih efektif jika digunakan untuk mengatasi kesenjangan dasar pendidikan.
Sebagai contoh, banyak sekolah di pelosok Indonesia yang masih menghadapi kekurangan guru, fasilitas sanitasi yang buruk, atau bangunan sekolah yang tidak layak. Konsultan pendidikan, seperti Ina Liem, menyarankan agar fokus digitalisasi tidak hanya terbatas pada pengadaan perangkat keras, melainkan harus dibarengi dengan pengembangan konten digital berkualitas, peningkatan kapasitas guru secara berkelanjutan, serta pemerataan akses internet dan listrik di seluruh wilayah.
Hingga 07 September 2025, Kemendikbudristek belum memberikan tanggapan komprehensif terhadap gelombang kritik yang terus bergulir ini. Masyarakat menantikan penjelasan yang transparan mengenai strategi implementasi program IFP, termasuk rencana mitigasi terhadap tantangan infrastruktur dan pelatihan, serta indikator keberhasilan yang jelas. Diharapkan, program digitalisasi pendidikan dapat benar-benar meningkatkan kualitas pembelajaran secara inklusif dan merata, tanpa mengabaikan kebutuhan dasar yang esensial bagi sekolah-sekolah di seluruh penjuru negeri.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda