Home / News / Mufti Anam: Suara Kritis Parlemen Terhadap Isu Beras & Wacana Pajak Baru

Mufti Anam: Suara Kritis Parlemen Terhadap Isu Beras & Wacana Pajak Baru

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Mufti Anam, kembali menjadi sorotan publik atas sikap kritis dan vokal dalam menyikapi berbagai isu krusial yang menyentuh langsung hajat hidup masyarakat. Setelah sebelumnya keras menyuarakan kelangkaan dan kenaikan harga beras, kini ia juga mengungkap dan mempersoalkan wacana pengenaan pajak atas sumbangan atau amplop kondangan. Kedua isu ini menunjukkan konsistensinya sebagai wakil rakyat yang responsif terhadap gejolak ekonomi dan kebijakan yang berpotensi membebani masyarakat.

Kritik Tajam soal Krisis Beras

Beberapa waktu lalu, nama Mufti Anam mencuat setelah video dirinya melayangkan protes keras terkait kelangkaan dan meroketnya harga beras di pasaran menjadi viral. Dalam rekaman tersebut, ia tampak mengungkapkan kekecewaan mendalam atas lambatnya respons pemerintah dalam menstabilkan pasokan dan harga komoditas pokok tersebut. Mufti Anam menilai krisis beras telah membebani rakyat kecil dan menengah, serta menuntut pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret, termasuk optimalisasi distribusi dan pengawasan harga.

Ia bahkan mendesak agar Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai stabilisator pangan dapat bekerja lebih proaktif dalam memastikan ketersediaan beras di seluruh wilayah Indonesia. Menurutnya, kegagalan dalam menjaga stabilitas harga pangan dasar seperti beras dapat memicu ketidakpastian ekonomi yang lebih luas dan merugikan daya beli masyarakat. Protesnya ini mendapatkan dukungan luas dari berbagai kalangan yang juga merasakan dampak langsung dari gejolak harga beras.

Membongkar Wacana Pajak Amplop Kondangan

Terbaru, pada 24 July 2025, Mufti Anam kembali menarik perhatian publik dengan mengungkap adanya wacana pengenaan pajak terhadap sumbangan pernikahan atau yang lazim disebut amplop kondangan. Wacana ini, yang konon sedang dikaji oleh pihak berwenang, langsung memicu perdebatan sengit di berbagai kalangan, mulai dari akademisi hingga masyarakat umum di media sosial.

Mufti Anam dengan tegas menolak gagasan tersebut, menganggapnya sebagai bentuk penarikan pajak yang tidak relevan dan berpotensi menambah beban ekonomi masyarakat. Ia berargumen bahwa sumbangan pernikahan adalah bagian dari tradisi sosial dan gotong royong yang telah mengakar kuat di Indonesia, yang seharusnya tidak diintervensi dengan kebijakan fiskal. Pajak semacam ini dikhawatirkan akan menimbulkan kerumitan birokrasi dan resistensi dari masyarakat yang selama ini sudah terbebani berbagai pungutan, baik langsung maupun tidak langsung.

Pengenaan pajak atas sumbangan pernikahan adalah kebijakan yang tidak tepat dan kontraproduktif. Ini sama saja menambah beban baru bagi masyarakat yang ingin berbagi kebahagiaan dan meringankan beban sesama. Pemerintah seharusnya fokus pada peningkatan pendapatan masyarakat, bukan mencari-cari celah untuk memajaki tradisi sosial yang sarat nilai kegotongroyongan, tegas Mufti Anam dalam beberapa kesempatan, merujuk pada wacana pajak kondangan.

Sikap vokal Mufti Anam dalam kedua isu ini menempatkannya sebagai salah satu anggota parlemen yang responsif terhadap keluhan masyarakat. Baik isu kelangkaan beras maupun wacana pajak amplop kondangan merupakan cerminan dari tantangan ekonomi yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini, di tengah upaya pemulihan pasca pandemi dan inflasi global. Publik menanti bagaimana pemerintah menyikapi desakan dari parlemen dan aspirasi masyarakat terkait kebijakan yang akan berdampak langsung pada kesejahteraan mereka. Aksi-aksi Mufti Anam ini diharapkan menjadi pemicu bagi pengambil kebijakan untuk lebih peka dan bijak dalam merumuskan regulasi.


Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda

Tagged: