Bencana longsor dahsyat melanda Desa Lobu Pining, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, pada 18 December 2025, meninggalkan jejak kehancuran yang mengerikan. Puluhan, bahkan ratusan rumah warga dilaporkan tertimbun material tanah dan lumpur, memaksa ratusan jiwa mengungsi dan menyisakan duka mendalam bagi masyarakat setempat. Insiden ini sontak memicu kembali perdebatan sengit mengenai dampak deforestasi yang diduga kuat menjadi penyebab utama tragedi.
Peristiwa nahas tersebut terjadi setelah hujan deras mengguyur wilayah itu selama beberapa hari terakhir. Material longsor yang membawa bebatuan dan lumpur tebal meluncur dari perbukitan di sekitar desa, menyapu apa pun yang dilaluinya. Akses jalan menuju Desa Lobu Pining kini terputus total, menyulitkan upaya evakuasi dan penyaluran bantuan logistik. Tim SAR gabungan dari BPBD, TNI, Polri, dan relawan masih terus berjibaku mencari korban yang kemungkinan masih tertimbun serta mendata kerugian material.
Dampak Kerusakan dan Tudingan Deforestasi
Pemandangan di Desa Lobu Pining kini berubah menjadi lautan lumpur dan puing-puing. Warga yang selamat menyaksikan dengan pilu rumah mereka, yang selama ini menjadi tempat berlindung, kini rata dengan tanah. Kondisi ini membuat mereka tidak hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi juga mata pencarian dan harta benda yang tak ternilai.
Di tengah keputusasaan, masyarakat Lobu Pining dengan tegas menuding aktivitas deforestasi atau penebangan hutan secara masif di daerah hulu sebagai biang keladi bencana ini. Mereka mengklaim, lahan hutan yang sebelumnya lebat kini telah banyak beralih fungsi menjadi perkebunan atau area terbuka lainnya, mengurangi kemampuan tanah menahan air hujan.
Kami sudah sering melihat hutan di sekitar kami ditebang habis-habisan. Dulu, jika hujan lebat, air masih tertahan oleh akar-akar pohon. Sekarang? Hanya dalam beberapa jam, air langsung meluncur membawa tanah. Kami sudah curiga akan terjadi bencana seperti ini, ujar seorang warga Desa Lobu Pining yang enggan disebutkan namanya, dengan suara bergetar.
Tudingan warga ini bukan tanpa dasar. Sejumlah pakar lingkungan dan geologi telah lama memperingatkan bahwa Sumatera Utara, sebagai salah satu provinsi dengan tutupan hutan yang signifikan namun rentan terhadap eksploitasi, memiliki risiko tinggi terhadap bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang dan tanah longsor jika deforestasi tidak terkendali. Hilangnya vegetasi penutup tanah secara drastis mengurangi daya serap air, menyebabkan tanah menjadi labil dan mudah longsor saat curah hujan tinggi.
Respons Pemerintah dan Seruan Mitigasi
Menanggapi bencana ini, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara bersama Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah membentuk posko pengungsian sementara dan menyalurkan bantuan darurat berupa makanan, selimut, dan obat-obatan. Operasi pencarian dan penyelamatan terus diintensifkan dengan peralatan berat untuk menyingkirkan timbunan tanah.
Dr. Budi Santoso, seorang pakar geologi dari Universitas Sumatera Utara, menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap tata ruang dan perizinan penggunaan lahan di wilayah rawan bencana.
Tragedi ini harus menjadi momentum bagi kita untuk serius melakukan moratorium penebangan hutan dan program reboisasi di daerah hulu. Pencegahan jauh lebih baik dan lebih murah daripada penanganan pascabencana. Pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi dalam menegakkan hukum terhadap perusak lingkungan dan meningkatkan edukasi mitigasi bencana kepada masyarakat, jelas Dr. Budi.
Bencana longsor di Desa Lobu Pining ini menjadi pengingat pahit akan dampak destruktif dari eksploitasi lingkungan yang tidak bertanggung jawab. Diperlukan komitmen kuat dari semua pihak, mulai dari pemerintah, pelaku usaha, hingga masyarakat, untuk menjaga kelestarian lingkungan demi mencegah terulangnya tragedi serupa di masa mendatang.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda





