Home / News / Kemenkumham Dorong Restorative Justice dalam Kasus Intoleransi di Cidahu Sukabumi

Kemenkumham Dorong Restorative Justice dalam Kasus Intoleransi di Cidahu Sukabumi

Jakarta, 05 July 2025 – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI menyuarakan pendekatan restorative justice sebagai solusi penyelesaian kasus dugaan intoleransi di Cidahu, Sukabumi. Langkah ini diusulkan sebagai upaya proaktif untuk menciptakan rekonsiliasi dan perdamaian di tengah masyarakat yang terlibat konflik. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Staf Khusus Menteri Hukum dan HAM, Thomas Harming, menegaskan komitmen Kemenkumham dalam mempromosikan keadilan yang berorientasi pada pemulihan.

Pendekatan Restoratif untuk Kasus Sensitif

Kasus dugaan intoleransi di Cidahu, Sukabumi, telah menarik perhatian publik dan memicu diskusi tentang bagaimana penanganan terbaik untuk konflik yang berakar pada perbedaan keyakinan atau pandangan. Dalam konteks ini, Kemenkumham, melalui Thomas Harming, menawarkan jalan keluar yang berbeda dari jalur hukum pidana konvensional.

Menurut Thomas Harming, restorative justice adalah suatu pendekatan di mana korban, pelaku, dan komunitas yang terdampak bekerja sama untuk menyelesaikan dampak pelanggaran dan implikasinya di masa depan. Pendekatan ini berfokus pada pemulihan kerugian, rekonsiliasi, dan pencegahan terulangnya konflik, alih-alih semata-mata menghukum pelaku. Hal ini dianggap relevan, terutama untuk kasus-kasus yang melibatkan konflik sosial atau komunal yang dapat berpotensi memecah belah.

Klarifikasi ini juga secara tidak langsung merespons narasi yang sempat beredar terkait peran Kemenkumham sebagai penjamin penangguhan tersangka. Thomas Harming menjelaskan bahwa posisi Kemenkumham bukanlah sebagai penjamin formal untuk penangguhan penahanan, melainkan sebagai fasilitator dan pendorong penerapan restorative justice. Ini berarti Kemenkumham berupaya mengusulkan suatu metode penyelesaian yang lebih holistik, yang mana jika disepakati oleh semua pihak dan memenuhi syarat, bisa berujung pada penarikan laporan atau penghentian perkara di luar pengadilan.

“Kemenkumham mengusulkan langkah restorative justice sebagai jalan penyelesaian dalam upaya menciptakan rekonsiliasi dan perdamaian,” ujar Thomas Harming, menekankan fokus kementerian pada pemulihan hubungan sosial.

Implikasi dan Tantangan Penerapan

Penerapan restorative justice dalam kasus intoleransi bukanlah tanpa tantangan. Kasus-kasus yang melibatkan isu intoleransi sering kali sensitif dan memicu emosi publik yang kuat. Keberhasilan pendekatan ini sangat bergantung pada kesediaan semua pihak, termasuk korban, pelaku, dan masyarakat sekitar, untuk terlibat aktif dalam proses dialog dan mencari solusi bersama. Ketersediaan mediator yang terlatih dan netral juga menjadi kunci dalam memfasilitasi komunikasi yang konstruktif.

Kemenkumham percaya bahwa restorative justice memiliki potensi besar untuk meredakan ketegangan, membangun kembali kepercayaan, dan mencegah eskalasi konflik yang lebih luas di masyarakat. Pendekatan ini memungkinkan korban untuk menyuarakan dampak yang mereka alami, sementara pelaku diberikan kesempatan untuk memahami konsekuensi tindakan mereka dan mengambil tanggung jawab. Hasil akhirnya diharapkan bukan hanya keadilan hukum, tetapi juga keadilan sosial yang berkelanjutan.

Langkah Kemenkumham ini juga sejalan dengan tren global yang semakin mengakui pentingnya keadilan restoratif, khususnya untuk kasus-kasus yang memiliki dimensi sosial yang kompleks. Di Indonesia, semangat restorative justice telah diintegrasikan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, meskipun implementasinya dalam kasus intoleransi masih terus diuji dan dikembangkan. Inisiatif di Cidahu ini diharapkan dapat menjadi contoh positif bagaimana konflik sosial dapat diselesaikan melalui dialog dan rekonsiliasi, demi terciptanya harmoni dan toleransi di tengah keberagaman.


Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda

Tagged: