Home / News / Dokter Prita: Jejak Harapan di Tengah Puing-puing Gaza yang Berdarah

Dokter Prita: Jejak Harapan di Tengah Puing-puing Gaza yang Berdarah

Di tengah laporan memilukan dari Jalur Gaza, nama Dokter Prita mencuat sebagai simbol ketabahan dan kemanusiaan. Sejak eskalasi konflik pada 7 Oktober 2023, paramedis asal Indonesia ini kembali menjejakkan kaki di wilayah yang kini luluh lantak, membawa harapan di antara dentuman bom dan jerit pilu korban. Ini bukan kali pertama Dokter Prita berada di Gaza, namun perjalanan terbarunya disebut-sebut sebagai yang paling menantang dan sarat risiko, menuntut keberanian luar biasa demi misi kemanusiaan.

Menembus Blokade dan Bahaya Maut

Perjalanan menuju Gaza, terutama pasca-7 Oktober, adalah sebuah odise yang penuh rintangan dan bahaya tak terduga. Dokter Prita harus menavigasi birokrasi yang rumit, mengurus izin yang kerap berubah, melewati pos pemeriksaan ketat yang dijaga militer, dan menghadapi ancaman keamanan yang nyata di sepanjang jalur menuju wilayah konflik. Logistik menjadi mimpi buruk; akses terhadap bahan bakar, makanan, air bersih, dan pasokan medis vital sangat terbatas, seringkali harus diupayakan melalui jalur-jalur yang berisiko tinggi dan rawan serangan. Setiap kilometer perjalanan adalah pertaruhan nyawa, di mana konvoi kemanusiaan pun tak luput dari ancaman dan ketidakpastian.

Situasi politik yang memanas dan terus berubah menambah kompleksitas misi Dokter Prita. Keberangkatan dan kepulangannya seringkali bergantung pada jeda singkat dalam pertempuran atau negosiasi sulit antara berbagai pihak. Namun, tekadnya untuk membantu masyarakat Gaza yang terjepit dalam krisis kemanusiaan tidak pernah surut, bahkan setelah menyaksikan kehancuran dan penderitaan yang melampaui batas imajinasi.

“Gaza saat ini adalah rumah sakit raksasa tanpa dinding, di mana setiap sudut adalah ruang gawat darurat,” ujar Dokter Prita dalam sebuah wawancara daring. “Kami berjuang tidak hanya melawan luka fisik, tetapi juga keputusasaan yang menggerogoti jiwa. Melihat mata anak-anak yang kehilangan segalanya, itu adalah dorongan terbesar bagi kami untuk terus bertahan, hari demi hari, meski ancaman selalu mengintai.”

Pertaruhan Nyawa di Tengah Krisis Kemanusiaan

Setibanya di Gaza, realitas yang dihadapi Dokter Prita jauh lebih brutal dari kunjungan sebelumnya. Rumah sakit dipenuhi dengan korban luka parah, banyak di antaranya adalah wanita dan anak-anak yang menjadi sasaran konflik tak terhindarkan. Persediaan obat-obatan esensial menipis drastis, peralatan medis rusak atau tidak memadai, dan listrik sering padam, memaksa operasi harus dilakukan dengan penerangan seadanya, seringkali tanpa anestesi yang cukup. Staf medis bekerja di bawah tekanan luar biasa, dengan jam kerja yang tak mengenal batas, dan ancaman serangan udara yang bisa datang kapan saja, bahkan di area yang seharusnya aman.

Kondisi sanitasi yang buruk dan akses air bersih yang minim memperparah keadaan, memicu penyebaran penyakit infeksi yang membahayakan. Ribuan orang mengungsi, mencari perlindungan di fasilitas umum yang tidak layak huni, menambah beban di pundak para pekerja kemanusiaan yang sudah terbebani. Dokter Prita dan timnya tidak hanya merawat luka fisik dan penyakit, tetapi juga memberikan dukungan psikososial kepada mereka yang mengalami trauma mendalam akibat perang berkepanjangan, berusaha memulihkan harapan di tengah kehancuran.

Di tengah gempuran konflik yang tak berkesudahan, kisah Dokter Prita adalah pengingat akan kekuatan kemanusiaan yang abadi dan tak kenal lelah. Dedikasinya melampaui batas geografis dan politis, menjadi mercusuar harapan bagi ribuan jiwa yang terjebak dalam lingkaran kekerasan tanpa akhir. Saat dunia pada 12 October 2025 terus menyerukan gencatan senjata permanen dan akses kemanusiaan tanpa hambatan, kehadiran para pahlawan tak bernama seperti Dokter Prita adalah bukti nyata bahwa di setiap medan perang, ada perjuangan gigih untuk kehidupan yang tak pernah padam.


Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda

Tagged: