Kehadiran Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh telah mengubah lanskap transportasi di Indonesia, menawarkan kecepatan dan efisiensi mobilitas antar dua kota besar. Sejak diresmikan, Whoosh menjadi simbol kemajuan teknologi dan ambisi infrastruktur Indonesia. Namun, hingga 12 November 2025, di balik lajunya yang super cepat, proyek mercusuar ini tak luput dari sorotan tajam terkait dugaan penyimpangan dan beban utang jumbo yang kini mencapai Rp116 triliun. Isu ini terus memantik diskusi publik dan perhatian serius dari lembaga penegak hukum.
KPK Soroti Pengadaan Lahan: Jejak Dugaan Ketidakwajaran Harga
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini tengah mendalami dugaan penyimpangan dalam proses pembebasan lahan untuk proyek Whoosh. Penyelidikan KPK tidak difokuskan pada aspek konstruksi fisik kereta, melainkan pada pengadaan tanah yang disinyalir mengandung indikasi “ketidakwajaran harga.” Dugaan ini mengarah pada potensi mark-up atau praktik-praktik yang merugikan keuangan negara dalam pembelian atau pembebasan tanah.
Juru bicara KPK, Ali Fikri, dalam beberapa kesempatan telah mengonfirmasi bahwa kasus ini berada dalam tahap penyelidikan awal, mengumpulkan bukti dan keterangan lebih lanjut. Jika terbukti, praktik ketidakwajaran harga ini dapat berdampak serius pada pembengkakan biaya proyek secara keseluruhan dan menimbulkan kerugian negara yang tidak sedikit. Penyelidikan ini menjadi krusial untuk memastikan tata kelola proyek strategis nasional bebas dari praktik korupsi dan penyimpangan. Implikasi dari temuan KPK dapat mencakup penetapan tersangka dan proses hukum yang berkelanjutan, menyoroti pentingnya transparansi dalam setiap tahapan proyek infrastruktur.
Beban Utang Rp116 Triliun: Bayang-bayang Anggaran Negara
Di samping dugaan penyimpangan lahan, proyek Whoosh juga dibayangi oleh beban utang yang masif, diperkirakan mencapai Rp116 triliun. Angka ini jauh melampaui estimasi awal proyek yang semula diharapkan tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena skemanya adalah bisnis ke bisnis (B2B) antara konsorsium Indonesia dan Tiongkok.
Pembengkakan biaya ini, salah satunya disebabkan oleh perubahan desain, keterlambatan, hingga faktor-faktor lain yang memicu penambahan anggaran. Konsekuensinya, pemerintah Indonesia melalui APBN harus turun tangan untuk menalangi sebagian pembiayaan proyek ini, termasuk melalui suntikan modal negara (PMN) kepada PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Situasi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan ekonom dan pengamat kebijakan publik mengenai keberlanjutan keuangan proyek strategis dan dampaknya terhadap fiskal negara di masa mendatang.
“Pembengkakan biaya dan intervensi APBN dalam proyek yang awalnya dijanjikan tanpa beban negara ini adalah preseden buruk. Ini menunjukkan lemahnya studi kelayakan awal dan potensi risiko fiskal jangka panjang yang harus ditanggung rakyat,” ujar seorang pengamat kebijakan publik, yang enggan disebutkan namanya, kepada media.
Penyelesaian proyek Whoosh yang cepat dan modern memang menjadi kebanggaan nasional. Namun, riak-riak dugaan penyimpangan dalam pengadaan lahan dan beban utang yang membengkak mengingatkan kita akan pentingnya akuntabilitas dan tata kelola yang baik dalam setiap proyek pembangunan. Pemerintah memiliki pekerjaan rumah besar untuk memastikan transparansi dan menegakkan hukum, sekaligus menjaga keberlanjutan proyek strategis ini agar tidak menjadi warisan beban bagi generasi mendatang. Public trust dan efisiensi anggaran negara menjadi taruhan utama dalam menghadapi tantangan ini di masa depan.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda






