Dua puluh tujuh tahun silam, pada 27 Juli 1996, sebuah peristiwa berdarah mengguncang Jakarta dan mencatat dirinya sebagai salah satu noda hitam dalam sejarah politik Indonesia. Dikenal sebagai Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli atau Kudatuli, insiden penyerbuan markas Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat, menjadi cermin kekerasan politik Orde Baru dan memantik api perlawanan sipil yang lebih luas.
Pada 28 July 2025, ingatan akan tragedi tersebut masih relevan sebagai pengingat akan pentingnya menjaga kebebasan berdemokrasi dan menuntut keadilan bagi korban kekerasan negara. Peristiwa ini bukan sekadar insiden perebutan kantor, melainkan puncak dari konflik internal PDI yang sarat intervensi pemerintah untuk membungkam suara-suara kritis, terutama dari Megawati Sukarnoputri yang kala itu menjabat Ketua Umum PDI hasil Kongres Surabaya.
Latar Belakang Konflik Internal PDI
Kudatuli berakar dari upaya rezim Orde Baru membendung popularitas Megawati Sukarnoputri yang semakin menguat. Setelah terpilih secara aklamasi dalam Kongres PDI di Surabaya pada 1993, Megawati dianggap sebagai ancaman serius bagi status quo. Pemerintah kemudian mendukung faksi lain dalam tubuh PDI yang dipimpin oleh Suryadi, yang secara sepihak menyelenggarakan Kongres di Medan pada Juni 1996. Kongres Medan ini, yang hasilnya menunjuk Suryadi sebagai Ketua Umum, tidak diakui oleh kubu Megawati maupun sebagian besar simpatisan PDI.
Markas PDI di Jalan Diponegoro 58 kemudian menjadi pusat konsolidasi bagi para pendukung Megawati, yang menolak hasil Kongres Medan dan menganggapnya sebagai bentuk intervensi ilegal terhadap kedaulatan partai. Kantor tersebut bertransformasi menjadi semacam “posko perjuangan” dan forum diskusi terbuka yang menarik perhatian mahasiswa, aktivis, hingga masyarakat umum. Kehadiran massa yang kian membesar di lokasi tersebut disinyalir membuat pemerintah merasa terancam, sehingga puncaknya terjadi pada pagi berdarah 27 Juli 1996.
Dampak Politik dan Warisan Kelam
Pada Sabtu pagi itu, sekumpulan massa yang disinyalir sebagai pendukung Suryadi, didukung oleh aparat keamanan yang cenderung pasif, menyerbu markas PDI. Bentrokan fisik tak terhindarkan antara penyerbu dan massa pendukung Megawati yang bertahan di dalam dan sekitar gedung. Situasi mencekam berubah menjadi kekacauan ketika api mulai membakar gedung markas, memaksa orang-orang di dalamnya melarikan diri dalam kepanikan. Saksi mata dan laporan menyebutkan adanya korban jiwa, puluhan luka-luka, dan beberapa orang dinyatakan hilang setelah kejadian itu.
Pascakerusuhan, pemerintah merespons dengan cepat dan keras. Gelombang penangkapan terhadap aktivis pro-demokrasi dan intelektual yang dianggap terlibat dalam kerusuhan pecah. Mereka dituduh sebagai dalang di balik “kerusuhan umum” yang meluas setelah insiden markas PDI. Namun, hingga kini, aktor intelektual di balik penyerbuan markas PDI dan kekerasan yang menyertainya belum sepenuhnya diungkap dan diadili secara tuntas. Investigasi yang dilakukan terkesan mandek, meninggalkan luka dan pertanyaan yang belum terjawab bagi para korban dan keluarga mereka.
Kudatuli bukan sekadar insiden perebutan kantor, melainkan simbol kuat dari praktik otoritarianisme negara yang mencoba membungkam aspirasi rakyat. Tragedi ini menjadi salah satu pemicu gelombang protes yang pada akhirnya mengantarkan pada tumbangnya rezim Orde Baru dua tahun kemudian. Mengenang Kudatuli adalah bagian dari upaya kita untuk tidak melupakan sejarah kelam dan terus menuntut keadilan, ujar seorang pengamat sejarah politik.
Warisan Kudatuli tetap terasa hingga kini. Peristiwa ini menjadi pengingat pahit tentang kerapuhan demokrasi di bawah bayang-bayang kekuasaan otoriter dan pentingnya menjaga kebebasan sipil. Bagi banyak aktivis dan korban, Kudatuli adalah utang keadilan yang belum terbayar lunas. Mengingatnya bukan hanya untuk mengenang korban, tetapi juga untuk memastikan bahwa tragedi serupa tidak akan terulang di masa depan, dan setiap upaya pembungkaman demokrasi akan selalu dihadapi dengan perlawanan yang gigih.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda