Home / News / Demokrat Soroti Kekosongan Jabatan di DPRD Pasca Putusan Pemisahan Pemilu MK

Demokrat Soroti Kekosongan Jabatan di DPRD Pasca Putusan Pemisahan Pemilu MK

JAKARTA — Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Dede Yusuf Macan Effendi, menyuarakan kekhawatiran serius terkait implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengamanatkan pemisahan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) nasional dan daerah. Putusan yang berlaku efektif mulai 2029 tersebut, menurut Dede Yusuf, berpotensi menimbulkan kekosongan jabatan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di berbagai tingkatan jika tidak segera diikuti dengan mekanisme penjabat sementara yang jelas.

Pernyataan Dede Yusuf pada 13 July 2025 ini menyoroti kompleksitas implementasi putusan MK yang telah mengubah lanskap penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia. Sebelumnya, MK memutuskan bahwa Pemilu nasional (untuk memilih Presiden, anggota DPR, dan DPD) akan dilaksanakan terpisah dari Pemilu daerah (untuk memilih Gubernur, Bupati/Wali Kota, dan anggota DPRD) mulai tahun 2029. Hal ini berbeda dengan sistem Pemilu serentak yang berlaku pada 2019 dan akan kembali diterapkan pada 2024.

Tantangan Implementasi dan Kekosongan Jabatan

Dede Yusuf menjelaskan bahwa kekhawatiran utama Partai Demokrat terletak pada tidak adanya mekanisme eksplisit mengenai pengisian jabatan sementara bagi anggota DPRD yang masa jabatannya berakhir sebelum Pemilu daerah berikutnya diselenggarakan. Dalam skenario Pemilu serentak, transisi kekuasaan dan pengisian jabatan relatif lebih terintegrasi. Namun, dengan pemisahan ini, masa jabatan legislatif daerah bisa jadi tidak sinkron dengan jadwal Pemilu daerah yang baru.

“Putusan MK ini, meskipun bertujuan baik untuk efisiensi, namun berpotensi menciptakan kekosongan jabatan di DPRD jika tidak segera diikuti dengan mekanisme penunjukan penjabat sementara yang jelas. Ini adalah tantangan serius yang harus disikapi oleh pembentuk undang-undang agar roda pemerintahan daerah tidak terhambat,” kata Dede Yusuf.

Lebih lanjut, Dede Yusuf juga menyoroti potensi dampak lain yang mungkin timbul, seperti beban administratif dan finansial yang berlipat ganda. Penyelenggaraan Pemilu yang terpisah akan membutuhkan lebih banyak sumber daya, baik dari segi anggaran, logistik, maupun personel. Selain itu, potensi kelelahan pemilih (voter fatigue) juga menjadi perhatian, mengingat frekuensi Pemilu yang akan meningkat di masa mendatang.

Urgensi Regulasi dan Kolaborasi Lintas Lembaga

Menyikapi berbagai implikasi dari putusan MK ini, Dede Yusuf menekankan urgensi bagi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera merumuskan regulasi turunan yang komprehensif. Peraturan ini harus mampu menjawab berbagai permasalahan teknis dan hukum yang mungkin timbul dari pemisahan jadwal Pemilu, termasuk mekanisme pengisian jabatan yang kosong dan sinkronisasi masa jabatan.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga diharapkan segera berkoordinasi untuk menyiapkan kerangka kerja yang solid. Penyesuaian jadwal tahapan Pemilu, penyusunan anggaran yang efisien, serta edukasi publik mengenai sistem Pemilu yang baru menjadi krusial agar masyarakat tidak bingung dan partisipasi tetap optimal.

Partai Demokrat berharap, dengan perencanaan yang matang dan kolaborasi antarlembaga negara, putusan MK ini dapat diimplementasikan tanpa mengganggu stabilitas politik dan pemerintahan daerah. Pemisahan jadwal pemilu ini, meskipun bertujuan untuk memperbaiki kualitas demokrasi, memerlukan perencanaan matang dan kerja sama lintas lembaga untuk memastikan transisi yang mulus dan tanpa kendala berarti bagi roda pemerintahan daerah maupun pusat.


Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda

Tagged: