Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengguncang institusi penegak hukum dengan pengungkapan kasus dugaan pemerasan yang melibatkan sejumlah jaksa di daerah. Dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan di Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan, KPK berhasil mengamankan dua dari tiga jaksa yang diduga terlibat dalam praktik rasuah tersebut pada 20 December 2025. Satu orang jaksa lainnya hingga kini masih dalam pengejaran dan berstatus buron, menambah daftar panjang tantangan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Kasus ini mencuat ke permukaan setelah serangkaian penyelidikan mendalam yang dilakukan oleh tim KPK. Keterlibatan jaksa dalam kasus pemerasan adalah tamparan keras bagi kepercayaan publik terhadap sistem peradilan, mengingat posisi jaksa sebagai garda terdepan penegakan hukum dan keadilan. Insiden ini sontak memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, yang menyerukan reformasi internal Kejaksaan Agung.
Liku-liku OTT dan Keterlibatan Oknum Penegak Hukum
Informasi awal yang dirilis oleh KPK menyebutkan bahwa operasi tangkap tangan ini merupakan hasil pengembangan dari laporan masyarakat terkait dugaan praktik pemerasan dalam penanganan sebuah perkara di wilayah Hulu Sungai Utara. Meskipun detail spesifik kasus yang diperas belum diungkap secara gamblang, indikasi awal menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan untuk kepentingan pribadi. Dua jaksa yang telah ditangkap saat ini sedang menjalani proses pemeriksaan intensif di kantor KPK, Jakarta, untuk mendalami peran masing-masing serta mencari kemungkinan keterlibatan pihak lain.
Pihak KPK menegaskan komitmennya untuk menindak tegas setiap oknum penegak hukum yang terbukti menyalahgunakan kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri atau golongan. Pencarian terhadap satu jaksa yang buron juga terus dilakukan, dengan harapan dapat segera menangkap pelaku dan mengungkap seluruh jaringan yang mungkin terlibat dalam skandal ini. Kejadian ini menambah daftar panjang kasus korupsi yang menyeret penegak hukum, menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas dan pengawasan internal di lembaga-lembaga peradilan.
Sorotan DPR dan Tantangan Integritas Kejaksaan
Anggota Komisi III DPR RI, yang membidangi hukum dan HAM, menyatakan keprihatinan mendalam atas terulangnya kasus serupa. Mereka melihat kejadian ini sebagai “alarm keras” bagi Kejaksaan Agung untuk lebih serius dan konsisten dalam melakukan pembersihan internal. Ketua Komisi III DPR RI, dalam pernyataannya, menekankan pentingnya menjaga marwah institusi penegak hukum agar tidak kehilangan kepercayaan di mata masyarakat.
“Kasus seperti ini adalah alarm keras bagi seluruh institusi kejaksaan. Ini bukan hanya tentang menangkap pelaku, tetapi juga tentang bagaimana Kejaksaan Agung mampu membangun sistem pengawasan internal yang lebih kuat, transparan, dan akuntabel. Kepercayaan publik adalah taruhan utama. Jika oknum penegak hukum sendiri yang melakukan pelanggaran, bagaimana rakyat bisa percaya pada keadilan?”
Pernyataan tersebut mencerminkan desakan yang kuat dari lembaga legislatif agar Kejaksaan Agung segera mengambil langkah-langkah konkret. Langkah tersebut mencakup peninjauan ulang prosedur penanganan perkara, peningkatan integritas melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, serta penerapan sanksi yang tegas bagi setiap jaksa yang terbukti terlibat dalam praktik korupsi. Masyarakat juga menantikan respons cepat dan transparan dari Kejaksaan Agung terkait kasus ini, termasuk komitmen untuk memecat oknum-oknum yang terlibat dan memastikan proses hukum berjalan seadil-adilnya.
Kasus pemerasan yang melibatkan jaksa ini menjadi momentum krusial bagi Kejaksaan Agung untuk membuktikan komitmennya dalam menjaga integritas dan profesionalisme jajarannya. Tanpa tindakan tegas dan reformasi menyeluruh, insiden serupa dikhawatirkan akan terus terulang dan mengikis fondasi keadilan di negara ini.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda






