Home / News / TB Hasanuddin Tegaskan: Polisi Tak Boleh Jabat Sipil Tanpa Putusan MK

TB Hasanuddin Tegaskan: Polisi Tak Boleh Jabat Sipil Tanpa Putusan MK

JAKARTA – Anggota Komisi I DPR RI, Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin, kembali menyeruak isu sensitif mengenai rangkap jabatan aparat kepolisian di lingkungan sipil. Menurutnya, tanpa adanya putusan resmi dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan sebaliknya, penempatan anggota Polri pada jabatan non-kepolisian sejatinya melanggar regulasi yang ada. Pernyataan ini disampaikan TB Hasanuddin pada 14 November 2025 di tengah perdebatan publik terkait peran dan fungsi Polri.

Politikus senior dari Fraksi PDI Perjuangan ini menegaskan bahwa larangan tersebut sudah sangat jelas termaktub dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri). Beleid tersebut, kata Hasanuddin, dirancang untuk menjaga profesionalisme dan fokus tugas kepolisian.

Landasan Hukum dan Spirit Reformasi

Pasal 28 UU Polri, secara eksplisit mengatur bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak boleh menduduki jabatan di luar kepolisian, kecuali setelah mengundurkan diri atau diberhentikan dari dinas kepolisian. Aturan ini merupakan salah satu pilar reformasi yang memisahkan secara tegas fungsi militer/kepolisian dengan birokrasi sipil, sebagai upaya mewujudkan negara yang demokratis dan menghormati supremasi sipil.

TB Hasanuddin, yang memiliki latar belakang militer kuat, memahami betul urgensi pemisahan peran ini. Ia menekankan bahwa spirit reformasi 1998 yang memisahkan TNI dari Polri serta menegaskan peran masing-masing, harus dijaga dengan konsisten. Penempatan anggota Polri di berbagai kementerian, lembaga, atau instansi sipil tanpa landasan hukum yang kuat dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap netralitas birokrasi.

Tanpa putusan Mahkamah Konstitusi, sebetulnya polisi tidak bisa menduduki jabatan sipil kalau negara ikut aturan. Ini sudah jelas tertulis dalam Pasal 28 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, tegas TB Hasanuddin.

Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa posisi anggota Polri yang menempati jabatan sipil haruslah melalui mekanisme yang sah dan tidak bertentangan dengan UU. Jika ada pengecualian, menurutnya, itu harus melalui uji materi dan putusan MK yang memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dampak dan Urgensi Penegakan Aturan

Rangkap jabatan anggota kepolisian di sektor sipil telah menjadi perdebatan panjang di Indonesia. Pihak yang mendukung seringkali berargumen bahwa penempatan tersebut didasari kebutuhan akan keahlian tertentu atau disiplin yang dimiliki oleh aparat penegak hukum. Namun, TB Hasanuddin mengingatkan bahwa negara harus patuh pada aturan hukum yang telah ditetapkan, terutama untuk mencegah preseden buruk di masa depan.

Penegakan Pasal 28 UU Polri dianggap krusial untuk menjaga independensi dan profesionalisme Polri dalam menjalankan tugas utamanya, yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum. Ketika anggota Polri menduduki jabatan sipil, dikhawatirkan terjadi konflik kepentingan, bias loyalitas, hingga potensi penyalahgunaan wewenang. Selain itu, hal ini juga dapat menghambat regenerasi dan kesempatan bagi ASN sipil untuk mengisi jabatan-jabatan tersebut.

TB Hasanuddin berharap pemerintah dan lembaga terkait dapat meninjau kembali penempatan anggota Polri di jabatan sipil agar sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Kepatuhan terhadap UU, menurutnya, adalah cerminan dari komitmen negara terhadap reformasi dan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Ini bukan hanya tentang menaati pasal per pasal, melainkan juga menjaga ruh dari Undang-Undang itu sendiri yang bertujuan untuk membangun institusi Polri yang profesional dan akuntabel di bawah supremasi sipil.


Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda

Tagged: