Pulau Panjang, sebuah permata tersembunyi di gugusan Kepulauan Banyak, Aceh Singkil, kini menjelma menjadi magnet pariwisata bahari yang memukau. Dengan pasir putihnya yang lembut dan air laut sebening kristal, pulau ini menawarkan pengalaman liburan yang tak terlupakan bagi setiap pengunjung. Namun, di balik pesonanya yang kini diakui secara nasional, Pulau Panjang menyimpan jejak sejarah panjang, termasuk drama sengketa batas wilayah yang kini telah tuntas.
Pesona Alam dan Pengakuan Nasional
Terletak di Desa Pulau Baguk, Kecamatan Pulau Banyak, Pulau Panjang memanjakan mata dengan lanskap alam yang memesona. Deretan pohon kelapa melambai-lambai mengikuti irama angin, membingkai hamparan pasir putih yang kontras dengan gradasi biru kehijauan air laut yang jernih. Pengunjung dapat menikmati beragam aktivitas air, mulai dari berenang santai, snorkeling menjelajahi kekayaan bawah laut yang masih alami, hingga sekadar berjemur menikmati hangatnya mentari tropis.
Keunikan dan keindahan Pulau Panjang tidak luput dari perhatian pemerintah. Pada tahun 2023, Desa Pulau Baguk berhasil menorehkan prestasi gemilang dengan masuk dalam daftar 18 desa wisata terbaik di Nusantara, sebuah pengakuan prestisius dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Pengakuan ini tidak hanya mengangkat citra pariwisata lokal tetapi juga memberikan dorongan signifikan bagi pengembangan potensi ekonomi masyarakat setempat melalui sektor pariwisata berkelanjutan.
Sengketa Batas Wilayah: Sebuah Akhir yang Tegas
Di balik kemolekan alamnya, Pulau Panjang pernah menjadi sorotan utama dalam perseteruan administratif yang melibatkan dua provinsi tetangga, Aceh dan Sumatera Utara. Bersama Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, Pulau Panjang menjadi objek sengketa batas wilayah yang berlarut-larut. Konflik ini mencerminkan kompleksitas penentuan garis batas di wilayah kepulauan, yang seringkali melibatkan aspek historis, kultural, dan yuridis.
Namun, ketidakpastian administratif tersebut akhirnya menemui titik terang. Pemerintah pusat turun tangan untuk menyelesaikan sengketa ini melalui keputusan final yang menetapkan keempat pulau tersebut secara definitif sebagai bagian integral dari wilayah administratif Provinsi Aceh. Keputusan ini, yang disahkan beberapa waktu lalu, membawa kepastian hukum dan administrasi yang krusial bagi kedua belah pihak.
“Penyelesaian sengketa batas wilayah ini didasarkan pada pertimbangan data historis, kultural, dan hukum yang komprehensif, termasuk merujuk pada payung hukum vital, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh. Keputusan ini menegaskan status administratif pulau-pulau tersebut dan diharapkan menjadi landasan bagi pembangunan dan pengelolaan yang lebih terarah,” ungkap sumber terkait di pemerintahan.
Dengan tuntasnya sengketa ini, Pemerintah Provinsi Aceh kini memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengelola dan mengembangkan potensi Pulau Panjang secara optimal, khususnya dalam sektor pariwisata. Kepastian status ini memungkinkan investasi yang lebih terencana dan program pengembangan yang lebih efektif, memastikan bahwa keindahan Pulau Panjang dapat terus dinikmati oleh generasi mendatang. Hingga 13 November 2025, Pulau Panjang menjadi simbol keberhasilan penyelesaian konflik administratif yang berujung pada pengembangan pariwisata berkelanjutan, menegaskan posisinya sebagai destinasi wajib kunjung di ujung barat Indonesia.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda






