Ratusan anggota Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) memadati halaman Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, pada Selasa (7/10/2025). Kedatangan mereka bertujuan untuk menyuarakan penolakan keras terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang saat ini sedang dalam tahap pembahasan. Para pedagang mengkhawatirkan dampak serius Raperda tersebut terhadap keberlangsungan mata pencarian mereka.
Gelombang Protes Tolak Raperda KTR
Dalam aksi yang berlangsung sejak pagi hari itu, massa APKLI terlihat membawa sejumlah spanduk dan poster berisi tuntutan mereka. Slogan-slogan seperti ‘Tolak Raperda KTR, Selamatkan Ekonomi Rakyat!’ dan ‘Jangan Matikan Usaha Kami!’ menggema di area tersebut, disuarakan oleh para pedagang dari berbagai penjuru Jakarta. Koordinator lapangan aksi, Budi Santoso, dalam orasinya menegaskan bahwa Raperda KTR ini dianggap sangat merugikan bagi keberlangsungan usaha pedagang kaki lima, terutama mereka yang menyediakan makanan dan minuman di ruang terbuka.
Salah satu poin keberatan utama adalah potensi penurunan omzet akibat larangan merokok di area publik yang selama ini menjadi lokasi strategis bagi lapak-lapak pedagang kaki lima. Mereka berpendapat bahwa banyak pelanggan yang juga merupakan perokok aktif akan enggan untuk mampir ke lapak-lapak mereka jika tidak bisa merokok di sekitar area tersebut. Aksi protes ini juga diwarnai dengan penyampaian petisi resmi kepada perwakilan dewan, meminta agar pembahasan Raperda dihentikan atau setidaknya dilakukan peninjauan ulang terhadap pasal-pasal yang dianggap memberatkan.
“Kami bukan menolak hidup sehat, tapi kami menolak kebijakan yang memiskinkan kami! Raperda ini harus dikaji ulang, jangan sampai demi kesehatan segelintir orang, ribuan pedagang kehilangan mata pencarian!” tegas Budi Santoso, koordinator aksi, di hadapan massa.
Kekhawatiran Pedagang dan Dampak Ekonomi
Para pedagang mengungkapkan kekhawatiran serius mengenai dampak ekonomi yang akan mereka rasakan jika Raperda KTR ini disahkan tanpa mempertimbangkan aspirasi mereka. Raperda KTR yang tengah digodok ini rencananya akan memperluas cakupan area bebas rokok, termasuk di ruang terbuka publik seperti trotoar, taman, hingga area sekitar fasilitas umum. Area-area inilah yang selama ini menjadi tumpuan bagi sebagian besar pedagang kaki lima untuk menjajakan dagangannya.
Seorang pedagang kopi keliling di kawasan Tanah Abang, Ibu Nurlela (52), mengaku khawatir dagangannya tidak akan laku jika Raperda tersebut berlaku. “Pelanggan saya itu kebanyakan bapak-bapak yang suka ngopi sambil merokok. Kalau tidak boleh merokok di sini, pasti mereka cari tempat lain. Bagaimana nasib anak-anak saya nanti?” ujarnya dengan nada cemas. Kekhawatiran ini mencerminkan pandangan banyak pedagang lain yang merasa kebijakan tersebut kurang peka terhadap realitas ekonomi sektor informal.
Meskipun tujuan utama Raperda adalah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan mengurangi paparan asap rokok, APKLI berpendapat bahwa implementasinya perlu mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi secara komprehensif. Mereka menyarankan adanya zonasi khusus atau kebijakan yang lebih adaptif agar tujuan kesehatan tercapai tanpa harus mengorbankan mata pencarian jutaan pedagang kecil.
Respons Pemerintah dan Harapan Dialog
Perwakilan DPRD DKI Jakarta, yang diwakili oleh Ketua Komisi D, Bapak Ida Bagus, dilaporkan telah menerima delegasi dari APKLI untuk mendengarkan langsung aspirasi mereka. Bapak Ida Bagus menyatakan bahwa setiap masukan dari masyarakat akan ditampung dan menjadi bahan pertimbangan penting dalam pembahasan Raperda. Beliau menambahkan bahwa proses legislasi selalu melibatkan berbagai pihak untuk mencapai keseimbangan kepentingan.
“Tujuan Raperda ini baik untuk kesehatan masyarakat, namun kami juga memahami kekhawatiran dari teman-teman pedagang. Kami akan mencari titik temu terbaik agar kebijakan ini bisa berjalan tanpa merugikan pihak manapun,” jelas Bapak Ida Bagus setelah pertemuan. APKLI berharap agar DPRD DKI Jakarta dapat meninjau ulang pasal-pasal yang berpotensi merugikan pedagang dan membuka ruang dialog yang lebih intensif sebelum Raperda tersebut disahkan menjadi Peraturan Daerah.
Pada 07 October 2025, Raperda ini masih terus dibahas di tingkat komisi, dan nasibnya akan sangat bergantung pada hasil dialog antara pemerintah, legislatif, dan perwakilan masyarakat. Aksi ini menjadi pengingat bagi para legislator untuk menyeimbangkan kepentingan kesehatan publik dengan keberlangsungan ekonomi masyarakat akar rumput, yang kerap menjadi tulang punggung perekonomian informal di ibu kota.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda