Home / News / Jejak Digital, Luka Sosial: Remaja Indonesia Dihantui Kesepian

Jejak Digital, Luka Sosial: Remaja Indonesia Dihantui Kesepian

Fenomena penggunaan gawai yang masif di kalangan remaja Indonesia kini menunjukkan sisi gelap yang mengkhawatirkan. Sebuah studi terbaru dari lembaga riset terkemuka, yang datanya diungkapkan pada 01 October 2025, menyoroti bahwa sebanyak 34 persen dari 68 juta anak muda berusia 10 hingga 24 tahun di tanah air merasakan kesepian akut. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan alarm keras bagi masa depan sosial dan psikologis generasi penerus bangsa.

Kondisi ini secara langsung dihubungkan dengan intensitas penggunaan telepon genggam yang berlebihan, mengubah cara interaksi sosial dan membentuk pola hidup yang semakin terisolasi di balik layar. Alih-alih mendekatkan, gawai justru paradoksnya mendorong individu ke dalam jurang isolasi emosional, meskipun mereka terhubung secara digital.

Ancaman Kesepian di Era Digital

Lonjakan tingkat kesepian di kalangan remaja ini menjadi perhatian serius bagi para ahli psikologi dan sosiologi. Menurut mereka, interaksi tatap muka yang berkurang drastis digantikan oleh komunikasi daring yang seringkali bersifat dangkal. Media sosial, yang seharusnya menjadi jembatan penghubung, justru memicu ‘perbandingan sosial’ yang tak sehat, di mana remaja merasa kurang bernilai atau tidak sepopuler rekan-rekan mereka yang “terlihat” sempurna di dunia maya. Tekanan untuk selalu tampil menarik dan aktif di media sosial bisa menjadi pemicu stres dan kecemasan.

“Kesepian yang dialami remaja akibat kecanduan gawai bukanlah kesepian biasa. Ini adalah kesepian modern yang terbentuk di tengah keramaian digital, di mana mereka merasa ‘ada’ namun sebenarnya ‘sendiri’. Dampaknya bisa meluas, mulai dari menurunnya kepercayaan diri, masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan, hingga kesulitan dalam membangun hubungan interpersonal yang otentik di kemudian hari,” ujar Dr. Santi Wijaya, seorang Psikolog Klinis anak dan remaja, dalam sebuah seminar daring pada pekan lalu.

Lebih lanjut, penggunaan gawai yang berlebihan juga berpotensi mengganggu kualitas tidur, konsentrasi belajar, serta partisipasi dalam aktivitas fisik dan sosial di dunia nyata. Remaja cenderung lebih memilih menghabiskan waktu di dunia maya, melewatkan kesempatan berharga untuk mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang krusial untuk perkembangan mereka.

Peran Berbagai Pihak dan Langkah Antisipasi

Menyikapi fenomena ini, diperlukan sinergi dari berbagai pihak. Orang tua memegang peranan krusial dalam menetapkan batasan penggunaan gawai yang sehat, mengedukasi anak tentang etika digital, serta mendorong aktivitas non-digital yang produktif. Sekolah juga perlu memperkuat program literasi digital dan kesehatan mental, menciptakan lingkungan yang mendukung interaksi sosial yang positif.

Pemerintah dan lembaga terkait diharapkan dapat merumuskan kebijakan yang lebih komprehensif, termasuk kampanye kesadaran publik tentang dampak negatif kecanduan gawai dan penyediaan layanan konseling yang mudah diakses bagi remaja. Industri teknologi juga memiliki tanggung jawab untuk mendesain platform yang lebih berpihak pada kesejahteraan pengguna, bukan hanya pada durasi penggunaan.

Kondisi ini bukan hanya tentang membatasi penggunaan gawai, melainkan tentang mengembalikan keseimbangan hidup remaja di era digital. Membangun kembali fondasi hubungan sosial yang kuat dan memberikan dukungan emosional yang memadai adalah kunci untuk mengeluarkan mereka dari bayang-bayang kesepian. Masa depan generasi muda Indonesia bergantung pada bagaimana kita bersama-sama menyikapi tantangan digital ini dengan bijak dan penuh perhatian.


Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda

Tagged: