JAKARTA – Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menghadapi krisis internal serius menyusul perpecahan yang mencuat pasca-Muktamar X. Konflik ini, yang melibatkan dualisme kepemimpinan antara Pelaksana Tugas Ketua Umum Mardiono dan mantan Wakil Ketua Umum Agus Suparmanto, telah menarik perhatian sejumlah pihak, termasuk seorang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Tokoh hukum tata negara tersebut secara tegas menyerukan pentingnya rekonsiliasi demi menjaga keutuhan dan masa depan partai berlambang Kabah.
Perpecahan ini menjadi sorotan utama mengingat kedua belah pihak sama-sama mengklaim legitimasi sebagai kader sah dan memiliki basis dukungan yang kuat di tubuh partai. Situasi ini dikhawatirkan akan merusak citra partai di mata publik dan dapat berdampak signifikan terhadap persiapan PPP menghadapi kontestasi politik di masa mendatang. Urgensi rekonsiliasi menjadi semakin mendesak mengingat dinamika politik nasional yang semakin kompleks.
Akar Konflik dan Dualisme Kepemimpinan PPP
Konflik internal di PPP sejatinya bukan hal baru, namun perpecahan pasca-Muktamar X dianggap telah mencapai titik kritis. Muktamar, sebagai forum tertinggi pengambilan keputusan partai, seharusnya menjadi ajang konsolidasi dan penyatuan visi. Namun, dalam kasus ini, justru memicu munculnya faksi-faksi yang saling bertentangan mengenai kepemimpinan dan arah partai. Satu pihak mendukung kepemimpinan Mardiono sebagai Plt. Ketua Umum yang diakui secara de facto, sementara pihak lain, di bawah koordinasi Agus Suparmanto, juga mengklaim legitimasi dan menuntut adanya pengakuan atas struktur kepengurusan versi mereka.
Klaim “sama-sama mengaku kader” yang disampaikan oleh kedua belah pihak mencerminkan dalamnya akar permasalahan yang bukan sekadar perebutan posisi, melainkan juga pertarungan interpretasi atas Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai serta sejarah perjalanannya. Dualisme kepemimpinan ini tidak hanya berdampak pada soliditas internal, tetapi juga menghambat proses pengambilan keputusan strategis, seperti persiapan verifikasi partai untuk Pemilu, pembentukan koalisi, hingga penentuan calon legislatif dan kepala daerah. Publik dan kader di tingkat bawah mulai merasa bingung dan frustrasi dengan ketidakpastian yang terjadi.
Seruan Rekonsiliasi dari Pakar Hukum Tata Negara dan Implikasi Politik
Dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini, suara dari seorang mantan Ketua MK muncul sebagai penyejuk sekaligus desakan moral bagi kedua kubu yang berseteru. Beliau menekankan bahwa perpecahan yang berkepanjangan hanya akan merugikan partai dan melemahkan posisi PPP dalam kancah perpolitikan nasional. Pengalaman panjang PPP dalam menghadapi konflik internal seharusnya menjadi pelajaran berharga untuk mencari solusi terbaik.
“Perpecahan internal yang berkepanjangan hanya akan merugikan partai dan mencederai kepercayaan konstituen. PPP memiliki sejarah panjang dalam politik Indonesia, dan sudah saatnya semua pihak duduk bersama, mengesampingkan ego, demi masa depan partai. Tidak ada gunanya terus berseteru di saat bangsa membutuhkan kekuatan politik yang solid dan konstruktif,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut, menegaskan pentingnya persatuan di atas kepentingan pribadi atau kelompok.
Desakan rekonsiliasi ini mencerminkan kekhawatiran yang meluas di kalangan pengamat politik dan simpatisan partai terhadap potensi PPP kehilangan suaranya di parlemen jika konflik tidak segera diatasi. Pada 30 September 2025, dinamika politik menuju Pemilu semakin memanas, dan partai yang terpecah belah akan sangat sulit bersaing dengan partai lain yang lebih solid. Kehilangan kursi di DPR tidak hanya berarti kehilangan representasi, tetapi juga hilangnya pengaruh dan daya tawar politik PPP di tingkat nasional. Oleh karena itu, langkah-langkah konkret untuk mempertemukan kedua belah pihak dan mencari titik temu yang konstruktif sangat dinantikan, demi menjaga eksistensi PPP sebagai salah satu pilar demokrasi di Indonesia.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda