Wacana mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah kembali mencuat ke permukaan. Bakal calon presiden terpilih, Prabowo Subianto, menyatakan akan mempertimbangkan usulan Partai Golkar terkait pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) ketimbang melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Pertimbangan ini didasari oleh keinginan untuk mewujudkan demokrasi yang lebih bersih dan meminimalisir praktik politik uang serta tingginya biaya politik.
Pernyataan Prabowo tersebut muncul dalam konteks diskursus mengenai reformasi sistem politik di Indonesia. Ia sepakat bahwa sistem demokrasi saat ini perlu terus disempurnakan. “Demokrasi harus mengurangi banyak permainan uang, demokrasi juga harus dibuat minim ongkos politik supaya tidak hanya ditentukan oleh orang-orang berduit,” ujar Prabowo, menyiratkan keprihatinan mendalam terhadap integritas proses demokrasi.
Usulan Golkar ini bukanlah hal baru dalam peta politik Indonesia. Partai berlambang beringin ini telah lama menyuarakan gagasan pengembalian sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD, seperti yang berlaku di era Orde Baru sebelum reformasi. Argumentasi yang diangkat umumnya berputar pada efisiensi anggaran, stabilitas politik, dan upaya mengurangi polarisasi di tengah masyarakat akibat kompetisi langsung yang kerap memanas.
Debat Panjang Demokrasi Langsung vs. Tidak Langsung
Sejak bergulirnya era Reformasi pada 1998, Indonesia secara bertahap beralih dari pemilihan kepala daerah oleh DPRD menjadi pemilihan langsung oleh rakyat. Perubahan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian direvisi berkali-kali. Filosofi di balik pemilihan langsung adalah untuk memperkuat kedaulatan rakyat, meningkatkan akuntabilitas kepala daerah kepada konstituen, serta memutus mata rantai birokrasi yang berpotensi koruptif.
Namun, dalam perjalanannya, sistem pemilihan langsung juga menghadapi berbagai tantangan. Kritik utama seringkali tertuju pada tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan oleh setiap calon, baik untuk kampanye maupun operasional. Kondisi ini disinyalir membuka celah bagi praktik money politics atau politik uang, di mana dukungan suara dibeli dengan imbalan materi. Selain itu, kompetisi langsung juga terkadang memicu polarisasi tajam di masyarakat dan rentan terhadap kampanye hitam yang merusak tatanan sosial.
Di sisi lain, pendukung pemilihan oleh DPRD berargumen bahwa sistem ini dapat mengurangi biaya politik secara signifikan. Kepala daerah yang dipilih oleh DPRD juga diharapkan memiliki hubungan kerja yang lebih harmonis dengan lembaga legislatif daerah, yang pada gilirannya dapat menciptakan stabilitas pemerintahan dan mempercepat proses pembangunan. Pemilihan tidak langsung juga dianggap lebih efisien karena melibatkan lebih sedikit logistik dan sumber daya dibandingkan pilkada serentak di berbagai daerah.
Implikasi dan Reaksi Politik
Apabila wacana ini benar-benar ditindaklanjuti dan sistem pemilihan kepala daerah diubah kembali menjadi melalui DPRD, implikasinya akan sangat luas terhadap lanskap politik dan demokrasi Indonesia. Salah satu dampak paling signifikan adalah pergeseran kekuatan politik dari tangan rakyat langsung kembali ke tangan elite partai di parlemen daerah. Hal ini berpotensi mengubah dinamika hubungan antara kepala daerah dengan masyarakat yang diwakilinya.
Reaksi dari berbagai kalangan pun diperkirakan akan beragam. Sebagian aktivis demokrasi dan masyarakat sipil kemungkinan besar akan menentang keras usulan ini, khawatir akan mundurnya kualitas demokrasi Indonesia ke era pra-Reformasi. Mereka akan menekankan pentingnya hak konstitusional rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung sebagai pilar utama demokrasi modern. Di sisi lain, partai-partai politik, terutama yang memiliki kekuatan dominan di DPRD, mungkin melihat ini sebagai peluang untuk memperkuat kontrol dan konsolidasi kekuasaan di tingkat daerah.
“Pengembalian sistem pemilihan kepala daerah kepada DPRD harus dipertimbangkan dengan sangat matang. Meskipun tujuan mengurangi politik uang itu mulia, kita harus berhati-hati agar tidak mengorbankan kedaulatan rakyat dan partisipasi publik yang telah terbangun selama lebih dari dua dekade. Ada kekhawatiran sistem ini justru akan memicu transaksi politik di tingkat elite dan menjauhkan pemimpin dari akuntabilitas langsung kepada rakyat,” kata seorang pengamat politik dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Budi Santoso, pada 05 December 2025.
Untuk merealisasikan perubahan ini, dibutuhkan amandemen terhadap undang-undang terkait, termasuk Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Proses legislasi tersebut tentu akan memakan waktu dan memerlukan konsensus politik yang kuat dari seluruh fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tingkat pusat. Debat publik yang luas dan mendalam diharapkan dapat mengiringi setiap tahapan pembahasan, demi memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar demi kepentingan terbaik bangsa dan negara. Diskusi ini menjadi indikator penting arah demokrasi Indonesia ke depan, di bawah kepemimpinan yang baru.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda






