Fenomena unik tengah menyelimuti industri kafe dan tempat usaha di berbagai kota di Indonesia. Banyak pemilik usaha kuliner dan hiburan dilaporkan enggan, bahkan takut, memutar lagu-lagu ciptaan musisi dalam negeri di tempat mereka. Bukan tanpa alasan, kekhawatiran utama adalah potensi tagihan royalti yang dinilai memberatkan dan kurang transparan, sesuai ketentuan yang berlaku.
Isu ini kembali mencuat pada 03 August 2025, menyusul laporan dari berbagai daerah mengenai sosialisasi atau bahkan penagihan royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) atau Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) lain yang ditunjuk. Situasi ini menciptakan dilema bagi pengusaha: di satu sisi, musik dapat memperkuat atmosfer dan menarik pelanggan; di sisi lain, potensi biaya tambahan yang tidak terduga menjadi momok yang mengancam keberlangsungan usaha.
Regulasi dan Polemik di Balik Royalti Musik
Kewajiban pembayaran royalti atas pemanfaatan musik dan lagu di ruang komersial sebenarnya bukanlah hal baru. Payung hukumnya jelas, yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC) dan kemudian diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Berdasarkan regulasi ini, setiap pihak yang menggunakan lagu atau musik secara komersial, termasuk kafe, restoran, hotel, atau pusat perbelanjaan, diwajibkan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait.
LMKN, yang dibentuk berdasarkan amanat UUHC, bertugas untuk mengelola royalti dari penggunaan komersial tersebut, kemudian mendistribusikannya kepada para pemegang hak. Namun, di lapangan, implementasi aturan ini memicu pro dan kontra. Para pemilik kafe kerap mengeluhkan beberapa hal, antara lain:
- Besaran Tarif: Persepsi bahwa tarif royalti terlalu tinggi atau tidak sesuai dengan skala usaha mereka.
- Kurangnya Sosialisasi: Banyak pengusaha mengaku belum memahami secara komprehensif mekanisme dan kewajiban ini sebelum mulai beroperasi.
- Transparansi: Kekhawatiran mengenai bagaimana dana royalti tersebut benar-benar didistribusikan kepada para musisi.
- Prosedur yang Rumit: Proses perizinan dan pembayaran yang dianggap tidak sederhana.
Di sisi lain, bagi para pencipta lagu, musisi, dan pemegang hak cipta, royalti adalah bentuk apresiasi dan hak ekonomi yang penting untuk kelangsungan hidup dan kreativitas mereka. Industri musik Indonesia sangat berharap agar hak-hak ini dapat dipenuhi secara adil dan transparan, demi mendorong ekosistem kreatif yang lebih sehat.
Mencari Titik Temu: Harapan dan Solusi
Untuk mengatasi polemik ini, diperlukan dialog konstruktif dan solusi yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak. Pemerintah, melalui Kementerian Hukum dan HAM serta LMKN, diharapkan dapat menjembatani perbedaan pandangan ini. Salah satu solusi yang kerap digaungkan adalah penyederhanaan sistem lisensi dan pembayaran royalti.
“Sistem royalti yang efektif sejatinya adalah simbiosis mutualisme. Pengusaha kafe mendapatkan atmosfer yang diinginkan, sementara pencipta lagu dan musisi mendapatkan hak ekonomi yang layak atas karyanya. Kuncinya ada pada kejelasan, transparansi, dan kemudahan akses dalam pemenuhan kewajiban, sehingga tidak ada lagi ketakutan yang menghambat perputaran roda ekonomi kreatif.”
Pihak terkait dapat mempertimbangkan skema tarif berjenjang yang disesuaikan dengan skala usaha, kapasitas kafe, atau jenis pemanfaatan musik. Selain itu, platform digital terintegrasi yang memudahkan pengusaha untuk mendaftar dan membayar royalti secara efisien juga dapat menjadi solusi. Edukasi masif kepada pelaku usaha mengenai pentingnya royalti dan cara pemenuhannya juga krusial agar tidak ada lagi alasan ketidaktahuan.
Kerja sama antara asosiasi pengusaha kafe, asosiasi musisi, dan lembaga pengelola royalti sangat diperlukan untuk mencapai titik temu. Dengan adanya komunikasi yang terbuka, diharapkan kafe dan tempat usaha tidak lagi “takut” memutar lagu Indonesia, melainkan justru bangga menjadi bagian dari ekosistem yang mendukung kemajuan musik nasional. Masa depan industri kreatif Indonesia sangat bergantung pada keseimbangan antara perlindungan hak cipta dan keberlangsungan usaha.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda