Jakarta, 16 December 2025 – Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 secara normatif dipastikan tetap sah berlaku dan tidak bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Penegasan ini disampaikan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Esa Unggul, Prof. Dr. Juanda, S.H., M.H., yang juga Ketua Dewan Pembina Peradi Maju Indonesia.
Pernyataan Prof. Juanda tersebut muncul di tengah spekulasi dan perdebatan di kalangan hukum mengenai potensi inkonsistensi antara produk hukum yang dikeluarkan oleh institusi kepolisian dengan putusan yudisial tertinggi. Analisis ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan meredakan polemik yang sempat berkembang.
Konteks dan Latar Belakang Perpol
Perpol Nomor 10 Tahun 2025 diketahui menjadi sorotan publik dan kalangan hukum menyusul adanya Putusan MK yang berpotensi menimbulkan interpretasi beragam. Meskipun detail spesifik Perpol tersebut belum sepenuhnya diurai secara luas, namun keberadaannya dianggap krusial dalam kerangka penegakan hukum dan administrasi kepolisian di Indonesia. Perpol kerap mengatur hal-hal teknis dan operasional yang menjadi pedoman bagi aparat di lapangan.
Di sisi lain, Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang diterbitkan baru-baru ini, telah memantik diskusi mendalam mengenai batas-batas kewenangan dan hierarki peraturan perundang-undangan di Tanah Air. Putusan MK tersebut, yang menguji beberapa pasal dalam undang-undang terkait, sempat memunculkan kekhawatiran apakah Perpol yang dikeluarkan oleh institusi kepolisian ini akan terdampak atau bahkan kehilangan validitasnya. Pertanyaan mengenai sinkronisasi antara regulasi di tingkat teknis seperti Perpol dengan produk hukum yang lebih tinggi seperti undang-undang yang diuji di MK menjadi fokus utama perdebatan.
Analisis Pakar Hukum Tata Negara
Menanggapi spekulasi yang berkembang, Prof. Dr. Juanda menegaskan bahwa secara esensi dan substansi, Perpol Nomor 10 Tahun 2025 tidak memiliki pertentangan hukum dengan amar Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Menurutnya, objek dan ruang lingkup pengaturan dari kedua produk hukum tersebut berada pada domain yang berbeda.
Dalam analisisnya, Prof. Juanda menjelaskan bahwa Putusan MK lebih banyak menyasar pada aspek konstitusionalitas norma undang-undang, sementara Perpol bergerak pada ranah implementasi dan teknis operasional. “Perpol ini berada pada level peraturan pelaksana yang berfungsi mengisi kekosongan atau merinci ketentuan yang ada di atasnya, yaitu undang-undang,” ujar Prof. Juanda dalam keterangannya kepada media.
Prof. Juanda menambahkan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan harus dipahami secara utuh. Sebuah Perpol tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, apalagi konstitusi. Namun, ia menekankan bahwa Putusan MK dalam kasus ini tidak secara eksplisit membatalkan atau menyatakan inkonstitusional norma yang menjadi dasar pembentukan Perpol Nomor 10 Tahun 2025.
“Secara normatif, tidak ada pasal dalam Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang secara langsung menganulir atau menyatakan Perpol Nomor 10 Tahun 2025 inkonstitusional. Ini adalah dua entitas hukum yang memiliki fokus dan dimensi pengaturan yang berbeda, sehingga keduanya dapat berjalan selaras tanpa saling meniadakan,” tegas Prof. Juanda.
Penjelasan ini diharapkan dapat meredakan polemik yang sempat muncul dan memberikan kepastian hukum bagi institusi kepolisian dalam menjalankan tugasnya, serta bagi masyarakat yang menjadi subjek dari peraturan tersebut. Validitas Perpol menjadi penting untuk menjaga efektivitas dan legalitas setiap tindakan yang diambil oleh aparat penegak hukum berdasarkan peraturan tersebut.
Dengan demikian, meskipun dinamika hukum dan konstitusi selalu berkembang, penegasan dari pakar seperti Prof. Juanda ini memberikan landasan yang kuat bahwa Perpol Nomor 10 Tahun 2025 tetap memiliki kekuatan hukum yang sah dan mengikat, selama tidak ada putusan hukum lebih lanjut yang menyatakan sebaliknya.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda





