Jakarta, 14 August 2025 – Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang diajukan oleh sejumlah pemohon. Gugatan ini secara spesifik meminta negara untuk menjamin ketersediaan pembiayaan di seluruh jenjang pendidikan, termasuk hingga tingkat perguruan tinggi atau kuliah. Penolakan ini menegaskan kembali posisi hukum terkait tanggung jawab negara dalam pembiayaan pendidikan, dengan prioritas tetap pada jenjang pendidikan dasar.
Latar Belakang Gugatan dan Argumentasi Pemohon
Permohonan uji materi ini diajukan dengan dalih bahwa UU Sisdiknas tidak secara eksplisit dan komprehensif mewajibkan negara untuk menanggung sepenuhnya biaya pendidikan di semua jenjang, terutama di tingkat pendidikan tinggi. Para pemohon berargumen bahwa Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, yang mengamanatkan alokasi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD, seharusnya diinterpretasikan sebagai kewajiban negara untuk membiayai seluruh kebutuhan pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi tanpa pengecualian.
Mereka melihat adanya ketimpangan akses pendidikan tinggi yang disebabkan oleh biaya yang mahal, dan berharap putusan MK dapat menjadi landasan hukum yang kuat bagi negara untuk mengalokasikan dana secara lebih komprehensif, sehingga tidak ada lagi hambatan finansial bagi siapapun yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas. Argumentasi ini juga didasari pada pandangan bahwa pendidikan adalah hak dasar yang harus dijamin sepenuhnya oleh negara.
Pertimbangan MK dan Penegasan Prioritas
Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi secara tegas menyatakan bahwa amanat konstitusi dan UU Sisdiknas lebih menitikberatkan pada kewajiban negara untuk memenuhi pembiayaan pendidikan dasar dan menengah. MK berpandangan bahwa hak atas pendidikan yang dijamin oleh konstitusi tidak serta merta berarti negara wajib menanggung seluruh biaya pendidikan di semua jenjang hingga perguruan tinggi.
“Mahkamah berpendapat bahwa kewajiban konstitusional negara untuk membiayai pendidikan lebih difokuskan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah sebagai upaya pemenuhan hak dasar warga negara. Untuk jenjang pendidikan tinggi, pembiayaan dapat melibatkan peran serta masyarakat dan pihak lain, tanpa menghilangkan kewajiban negara untuk membantu mahasiswa yang kurang mampu,” demikian salah satu poin penting dalam pertimbangan MK.
MK juga mempertimbangkan realitas anggaran negara dan prinsip keadilan. Jika negara diwajibkan menanggung seluruh biaya hingga perguruan tinggi, hal ini dikhawatirkan akan membebani APBN/APBD secara signifikan dan berpotensi mengurangi alokasi untuk sektor-sektor esensial lainnya, atau bahkan mengorbankan kualitas pendidikan dasar yang menjadi pondasi utama. Putusan ini mengukuhkan pemahaman bahwa pembiayaan pendidikan tinggi bersifat multi-sumber, di mana peran serta masyarakat, perguruan tinggi itu sendiri, dan bantuan negara dalam bentuk beasiswa atau subsidi bagi mahasiswa kurang mampu tetap menjadi bagian penting dari ekosistem pendidikan tinggi.
Dengan penolakan ini, lanskap pembiayaan pendidikan tinggi di Indonesia tidak mengalami perubahan drastis. Pemerintah tetap memiliki kewajiban untuk menyediakan akses pendidikan tinggi melalui berbagai program seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, beasiswa, dan kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berkeadilan, namun bukan dalam konteks jaminan pembiayaan penuh untuk setiap mahasiswa. Putusan MK ini menjadi penegasan atas prioritas negara dalam pemenuhan hak pendidikan dasar bagi seluruh warga negara, sambil tetap membuka ruang bagi partisipasi berbagai pihak dalam pengembangan pendidikan tinggi.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda