Tapanuli, Sumatera Utara – Bencana longsor yang kembali menerjang wilayah Tapanuli pada 04 December 2025 tidak hanya meninggalkan duka dan kerusakan, tetapi juga menyoroti kondisi hutan yang semakin kritis. Penemuan sejumlah besar kayu gelondongan di lokasi kejadian, khususnya di sekitar lereng bukit yang longsor, memicu kekhawatiran serius mengenai dugaan praktik penebangan liar dan degradasi lingkungan yang merajalela.
Insiden ini menambah panjang daftar bencana hidrometeorologi yang melanda provinsi tersebut, menguatkan indikasi bahwa kerusakan ekosistem hutan berperan signifikan dalam meningkatkan kerentanan wilayah terhadap longsor. Pakar kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan tegas menyatakan bahwa temuan kayu-kayu tersebut bukan sekadar kebetulan, melainkan cerminan dari kombinasi kompleks faktor yang memperparah kerentanan wilayah terhadap bencana.
Indikasi Kuat Degradasi Hutan dan Penebangan Liar
Tim mitigasi bencana dan relawan di lokasi longsor melaporkan penemuan puluhan bahkan ratusan batang kayu gelondongan berukuran bervariasi, ikut terbawa arus lumpur dan material tanah. Beberapa di antaranya tampak seperti baru ditebang, sementara yang lain menunjukkan tanda-tanda telah lama berada di area tersebut. Keberadaan kayu-kayu ini mengindikasikan adanya aktivitas penebangan yang tidak terkontrol atau praktik deforestasi yang masif di hulu sungai atau lereng perbukitan yang rawan.
Prof. Dr. Ir. Budi Santoso, M.Sc., seorang Guru Besar Bidang Konservasi Sumber Daya Hutan dari IPB, menjelaskan bahwa temuan ini merupakan bukti kuat degradasi hutan. “Kehadiran kayu gelondongan di area longsor adalah sinyal darurat. Ini menunjukkan bahwa tutupan hutan sebagai penopang utama tanah telah sangat berkurang,” ujar Prof. Budi melalui sambungan telepon. Ia menambahkan, hutan yang sehat berfungsi sebagai penyerap air hujan dan pengikat tanah melalui akar-akar pohonnya. Ketika hutan rusak, kemampuan tanah untuk menahan air dan erosi akan menurun drastis, sehingga sangat rentan terhadap longsor saat hujan deras.
Analisis awal menunjukkan bahwa kerusakan hutan di hulu sungai atau di puncak-puncak bukit di Tapanuli bisa jadi disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor, termasuk pembukaan lahan untuk perkebunan, permukiman, hingga dugaan penebangan liar yang tidak bertanggung jawab. “Degradasi hutan ini bukan hanya masalah penebangan, tetapi juga perubahan fungsi lahan yang tidak sesuai peruntukannya,” tegas Prof. Budi.
Ancaman Berulang dan Kebutuhan Mitigasi Berkelanjutan
Bencana longsor di Tapanuli bukanlah kejadian yang pertama kali. Wilayah ini, dengan topografi berbukit dan curah hujan tinggi, memang memiliki risiko longsor yang inheren. Namun, frekuensi dan tingkat keparahan bencana yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir mengindikasikan adanya faktor pemicu antropogenik yang semakin dominan.
Dampak dari degradasi hutan ini tidak hanya terbatas pada bencana alam, tetapi juga mengancam keanekaragaman hayati, kualitas air, serta keberlanjutan mata pencarian masyarakat lokal yang bergantung pada ekosistem hutan. Pemerintah daerah dan pusat diharapkan dapat mengambil langkah konkret dan komprehensif untuk mengatasi masalah ini, mulai dari penegakan hukum terhadap pelaku penebangan liar hingga program reforestasi yang efektif dan berkelanjutan.
“Temuan ini adalah lonceng peringatan keras bagi kita semua. Degradasi hutan bukan hanya masalah ekologis, tetapi juga ancaman nyata bagi keselamatan jiwa dan keberlanjutan ekonomi masyarakat. Jika kita terus abai terhadap praktik perusakan lingkungan, maka bencana serupa akan terus berulang dengan intensitas yang semakin parah,” kata Prof. Budi Santoso, menegaskan urgensi tindakan kolektif.
Diperlukan sinergi antara pemerintah, akademisi, komunitas adat, dan masyarakat sipil untuk merumuskan strategi mitigasi bencana yang terintegrasi, yang tidak hanya berfokus pada respons pasca-bencana, tetapi juga pada upaya pencegahan melalui pengelolaan hutan lestari dan edukasi lingkungan. Tanpa langkah-langkah konkret, ancaman bencana longsor akan terus membayangi masyarakat Tapanuli, menjadi pengingat pahit akan dampak abainya kita terhadap kelestarian alam.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda






