Partai Golkar kembali memunculkan wacana untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sebagai respons atas maraknya kasus korupsi yang menjerat kepala daerah serta tingginya biaya politik. Ide ini, yang bukan kali pertama mencuat dalam ranah perpolitikan nasional, kini sedang dalam tahap pembahasan dan memerlukan kajian mendalam di internal partai berlambang pohon beringin tersebut, demikian diungkapkan oleh elite politik Golkar pada 11 December 2025.
Wacana ini mengemuka di tengah sorotan publik terhadap integritas pejabat daerah. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa sejumlah besar kepala daerah telah menjadi tersangka atau terpidana kasus korupsi dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini memicu pertanyaan serius mengenai efektivitas sistem Pilkada langsung dalam menghasilkan pemimpin yang bersih dan berintegritas, serta beban biaya politik yang ditimbulkan dari kontestasi langsung.
Mencari Solusi Efisiensi dan Akuntabilitas
Menurut salah satu fungsionaris senior Partai Golkar, yang enggan disebut namanya, pembahasan mengenai Pilkada via DPRD adalah bagian dari upaya partai untuk mencari solusi jangka panjang terhadap permasalahan sistemik yang ada. “Ini bukan soal kembali ke masa lalu secara buta, melainkan evaluasi mendalam atas sistem yang ada, mencari format terbaik demi efisiensi anggaran dan pemberantasan korupsi di tingkat daerah,” ungkapnya.
Pilkada langsung, yang mulai diterapkan pasca-Reformasi, bertujuan untuk meningkatkan legitimasi demokratis kepala daerah dengan memberikan hak pilih langsung kepada rakyat. Namun, dalam perjalanannya, sistem ini dinilai memunculkan berbagai ekses, mulai dari politik uang, mahalnya biaya kampanye yang berpotensi memicu korupsi, hingga polarisasi di tengah masyarakat. Dengan kembali ke Pilkada melalui DPRD, diharapkan biaya politik dapat ditekan secara signifikan dan proses pemilihan menjadi lebih terarah.
Lebih lanjut, Golkar memandang bahwa mekanisme Pilkada oleh DPRD dapat meningkatkan akuntabilitas kepala daerah terhadap partai politik yang mengusungnya, serta terhadap lembaga legislatif di daerah. Hal ini diharapkan bisa menjadi filter awal untuk mencegah calon-calon yang memiliki rekam jejak kurang baik atau rentan terhadap praktik korupsi.
Dilema Demokrasi dan Potensi Pro-Kontra
Meskipun demikian, wacana ini diprediksi akan menimbulkan pro-kontra yang kuat di masyarakat dan kalangan politik. Pengembalian Pilkada melalui DPRD seringkali dikaitkan dengan kemunduran demokrasi, karena hak rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung akan dicabut. Kekhawatiran akan adanya “transaksi politik” di antara anggota DPRD dalam menentukan kepala daerah juga menjadi sorotan utama.
Pada tahun 2014, Indonesia sempat dihadapkan pada situasi serupa ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Undang-Undang Pilkada yang menghapus Pilkada langsung, namun gelombang protes masyarakat dan kritik keras dari berbagai pihak akhirnya membuat undang-undang tersebut direvisi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mengembalikan mekanisme Pilkada langsung. Pengalaman ini menunjukkan betapa sensitifnya isu perubahan mekanisme Pilkada di mata publik.
“Meskipun niat efisiensi dan pemberantasan korupsi patut diapresiasi, kita harus berhati-hati agar tidak mengorbankan esensi demokrasi yang telah diperjuangkan rakyat. Kajian ini harus dilakukan secara transparan dan melibatkan berbagai elemen masyarakat, bukan hanya elite politik,” ujar seorang pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Budi Santoso.
Partai Golkar menyadari kompleksitas isu ini dan menegaskan bahwa kajian yang mereka lakukan akan mencakup aspek hukum, konstitusional, dampak politik, serta penerimaan publik. Proses pengambilan keputusan terkait wacana ini dipastikan akan melalui jalur panjang perdebatan dan konsolidasi, baik di internal partai maupun dengan partai politik lainnya, serta mendengarkan aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda





